Oleh : Aisyah Kaltsum Haniyah
Kelas : IX F

Suatu pagi di kelas IX F, seorang gadis duduk di baris kedua paling kiri sedang mengerjakan tugas yang belum selesai.
Tiba-tiba
BRUUUK
Gadis itu alias Maya terkejut, kemudian mendongak.
Tenyata asal suara itu adalah berasal dari Fika. Teman sebangku maya, Fika tadi menyimpan tas nya diatas meja dengan keras sehingga menimbulkan suara gaduh.
“Kenapa, Ka? Baru datang sudah marah-marah” tanya Maya lembut.
“Huh, menyebalkan” kata Fika kesal.
“Kenapa, Ka? Kesal dengan siapa? Adikmu ya? Tadi pagi bertengkar?” tanya Maya.
“Huh, bukan May. Tadi pagi aku minta uang tambahan ke Bunda karena tadi pagi aku belum makan tapi Bunda tidak memberi, menurut Bunda itu salahku karena aku bangun kesiangan, akhirnya Bunda menyuruhku untuk membawa sarapan ke sekolah” jawab Fika panjang lebar.
Maya menggeleng, ia bingng kenapa Fika kesal hanya karena permasalahan sesepele itu.
“Lalu kamu kesal Cuma karena itu?” tanya Maya. Fika mengangguk, Maya kembali menggeleng.
“Kamu harusnya bersyukur Ka, masih punya Ibu” Seru seseorang tiba-tiba. Maya dan Fika terkejut, kemudian mencari asal suara.
Tenyata suara itu bersal dari Kian. Gadis itu duduk di kursi baris kedua paling kanan. Dirinya tersenyum, namun senyum itu merupakan senyum keterpaksaan.
Sedari kecil, Kian sudah tidak punya Ibu. Ibunya sudah pergi meninggalkannya sejak usia masih kecil. Namun, kepergian ibunya tidak menjadikan Kian anak yang murung ataupun pendiam. Justru Kian berusaha ceria dan berteman dengan banyak orang agar kesedihannya meudar dan dapat menerima kepergian Ibunya.
“Kalian mau dengar kejadian saat Ibuku meninggal? “ tanya Kian sembari tersenyum.
“Ka.. kamu tidak keberatan?” tanya Maya khawatir.
“Tidak apa-apa, ayo kemari!” jawab Kian sambil memberi isyarat untuk mendekat.
Maya dan Fika berjalan mendekati Kian, kemudian duduk di dua kursi yang ada di depan Kian.
Kian tersenyum, kemudian memulai bercerita.
***
“Saat itu, aku masih kelas 3 SD. Saat aku masih membutuhkan hangatnya kehadiran seorang Ibu. Justru saat itulah aku mendengar kabar duka yang sangat menyedihkan, kabar bahwa Ibuku akan pergi selam-lamanya ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Beberapa hari sebelum Ibuku pergi. Ibuku seperti biasa menyiapkan seragam dan menyiapkan sarapan untukku dan untuk kakakku. Membuat teh manis dan menyiapkan seragam untuk Ayah. Semua Ibu yang lakukan sendiri”.
Setelah selesai mandi dan memakai seragam, aku berjalan mendekati Ibu.
“Ibu, aku sudah siap” seruku tersenyum.
“Jangan lupa bawa bekalnya ya, sayang” Ibu tersenyum dan mengingatkan lembut.
“Iya Bu, aku tidak akan lupa kok” jawabku sembari tersenyum.
Setelah itu Ibu menyuruhku untuk segera sarapan. Beberapa menit setelah aku sarapan, jemputan sekolah datang, aku berpamitan dengan ibu. Bersalaman kemudian berpelukan.
“Hati-hati ya sayang, jadi anak baik disekolah, jangan bertengkar dengan teman ya!” nasehat Ibu lembut.
Ayah yang sedari tadi memperhatikan aku dan Ibu tersenyum. Kemudian mendekat dan mencium keningku lembut.
“Hati-hati sayang, Ayah tahu kok kamu anak baik” kata Ayah sembari tersenyum.
“Terima kasih Ayah, terima kasih Ibu. Assalamu’alaikum “ seruku mengucap salam, kemudian melambaikan tangan kepada Ayah dan Ibu.
“Waalaikumsalam” jawab Ayah dan Ibu sembari melambaikan tangan, kemudian akupun masuk ke dalam jemputan dan berangkat menuju sekolah.
Entah mengapa aku tidak menyadari bahwa wajah Ibu lebih pucat hari itu.
Setelah aku berangkat sekolah, Ibu berjalan menuju kamarnya. Tapi, saat membuka pintu kamar mendadak tubuh Ibu jatuh. Kakakku yang saat itu belum berangkat sekolah panik sekali. Ayahku yang saat itu hendak berangkat kerja juga sangat terkejut dan panik. Ibu pingsan, dan beberapa menit kemudian Ibu bangun. Tapi kemudian muntah-muntah, setelah itu Ibu kembali pingsan.
Melihat kejadian itu, Ayah memutuskan untuk izin kerja dan Kakak izin sekolah. Ayah dan Kakak kemudian membawa Ibu ke Rumah Sakit dengan menggunakan mobil Ayah. Namun, dimobil Ibu muntah-muntah lagi. Sesampainya di Rumah Sakit ternyata Ibu harus dirawat, dan ternyata Ibu terkena kanker otak. Ibu sempat dipindahkan ke Rumah Sakit lain, dan anak-anak tidak diperbolehkan masuk ke Rumah Sakit itu.
Hal yang paling mengejutkan adalah saat Ibu hilang ingatan. Semuanya sedih, bahkan Ayah san Kakak menangis mendengar kabar itu. Selam Ibu dirawat di Rumah Sakit aku tinggal di rumah Nenek.
Beberapa hari kemudian aku mendengar kabar bahwa Ibu akan di operasi, dan hasil akhirnya ada keesokan harinya.
Hari itu aku terbangun dari tidurku. Aku melihat pintu kamar yang terbuka lebar. Anehnya, banyak warga setempat yang berkumpul di rumahku. Ada yang menangis, ada juga yang berpelukan.
Awalnya, aku tidak paham dengan apa yang terjadi tetapi kemudian aku melihat salah seorang warga tetangga yang membawa bendera kuning. Yang ku tahu tentang bendera kuning adalah ada orang yang meninggal. Oleh sebab itu, dengan panik aku berjalan ke arah kamar Ayah dan Ibu. Setelah aku membuka pintu dan masuk, aku melihat Kakak shalat sambil menangis. Kemudian aku melihat Bude Ani yang juga sedang menangis.
Beberapa menit kemudian, Bude Ani baru menyadari bahwa aku sudah masuk ke dalam kamar Ayah dan Ibu. Bude Ani kemudian tersenyum dan memelukku sambil mengusap-usap kepalaku lembut.
“Kenapa Bude menangis?” tanyaku bingung. Mendengar pertanyaanku, Bude terdiam kemudian menarik napas panjang.
“Ade yang sabar yaa!” Kata Bude tiba-tiba. Awalnya aku tidk mengerti, sampai kemudian Bude mendekatkan mulutnya ke telingaku. Kemudian membisikkan berita yang sangat menyedihkan, berita bahwa aku akan kehilangan orang yang paling aku sayangi.
“Ibu meninggal de” ucap Bude terisak.
Mendengar berita tersebut aku kemudian hanya terdiam. Kemudian aku berjalan lemas menuju kamar mandi lalu berwudhu dengan tubuh yang bergetar. Seketika isi kepalaku kacau. Rasa sedih, hancur, serta kehilangan bergabung menjadi satu. Setiap kedip rasanya seperti memutar kembali kenanganku bersama Ibu. Air mataku mengalir deras bak air terjun. Begitu pun saat shalat, aku aku menangis tanpa suara. “Tidak mungin” itulah kalimat yang terus terulang di kepalaku. Rasanya tidak mungkin Ibu pergi secepat itu, rasanya ini semua hanyalah mimpi, tidak benar-benar terjadi.
Setelah shalat aku segera mandi, saat aku selesai mandi aku melihat tante tersenyum kepadaku kemudian berkata.
“Jangan menangis lagi ya!” katanya.
“Aku tidak akan menangis lagi kok tante”
“Ya, tante tahu kok Ade kuat”
“Kalau mau menangis tinggal ditahan tante”
“Masa? Ade tidak mau menyiapkan tissu?”
“Tidak, tidak perlu”
“Yakin?”
“Yakin dong”.
Namun, nyatanya mulut mudah sekali berbohong. Beberapa menit kemudian terdengar bunyi ambulans dari jauh. Seketika air mataku menetes.
Sebelum ambulans datang, datang mobil putih yang kemudian parkir di depan rumahku. Beberapa menit kemudian, Kakak laki-lakiku yang bersekolah di suatu pondok keluar dari mobil tersebut. Ternyata, karena Ayah terlalu sibuk dan tidak dapat menjemput Kakak laki-lakiku, pada akhirnya pihak pondok yang mengantarkannya pulang.
Beberapa menit setelah Kakak laki-lakiku datang. Ambulans yang membawa Ibuku datang. Perlahan-lahan jenazah Ibu dikeluarkan, kemudian dimasukkan kedalam rumah.
Aku berdiri disamping Ayahku, menggenggam tangannya erat-erat. Ayahku kemudian menatapku sambil tersenyum dan bertanya.
“Ade mau lihat muka Bunda?” tanyanya dengan suara tertahan. Aku menggeleng dan membuang muka sebagai jawaban dari pertanyaan Ayah. Melihat hal itu, Ayah hanya tersenyum dan melanjutkan.
“Kalau kamu mau mencium pipi Bunda air matanya jangan sampai kena ya!” lanjut Ayah sambil tersenyum.
Singkat cerita, setelah disholatkan jenazah Ibu dikuburkan di salah satu Taman Pemakaman yang ada didekar rumahku.
***
Kian selesai bercerita, matanya berkaca-kaca hendak menangis.
“Seharusnya kamu bersyukur Fika, kamu masih bia mendengar suara Ibumu, masih bisa bersama dengan Ibumu, masih bisa berbincang-bincang dengan Ibumu” kata Kian sedih.
“Aku janji tidak akan marah dengan Bunda lagi, maafkan aku ya Bunda” kata Fika meminta maaf.
Tiba-tiba
KRUYUUUUK
“Hahahaha, itu suara perutmu Fika?” tanya Maya sembari tertawa.
Fika tersenyum malu, Kian pun ikut tertawa.
0 Komentar