Oleh : Kosim, S.S.

Hari ini, Ahad, 13 Juli 2025, suasana di Pondok Pesantren Husnul Khotimah mulai kembali ramai. Deretan mobil terlihat memenuhi area parkir, mengantarkan para santri yang akan memulai kembali Kegiatan Belajar dan Mengajar (KBM) untuk Tahun Pelajaran 2025–2026. Keceriaan dan semangat tampak jelas di wajah para orang tua dan anak-anak mereka, meski tak sedikit pula yang menyimpan rasa haru karena harus kembali berpisah sementara waktu.

Di salah satu sudut ruang guru, tampak beberapa wali kelas sedang menerima kedatangan wali santri untuk mengambil rapor dan berdiskusi mengenai perkembangan putra-putri mereka selama satu tahun terakhir. Suasana hangat namun serius mewarnai pertemuan tersebut.

Salah satu pasangan wali santri, sebut saja orang tua dari Faiz, tampak berdiskusi cukup lama dengan wali kelas. Dengan nada serius namun tetap sopan, mereka menyampaikan kekhawatiran mengenai perkembangan adab dan akhlak anak mereka. Kami sempat terkejut , ibunya “sambil meneteskan air mata” melihat perilakunya saat di rumah. Jujur saja, tidak mencerminkan sikap santri seperti yang kami harapkan. Bahkan, kadang terasa lebih tidak baik dibanding siswa yang bersekolah di luar pondok,” ujar sang ibu penuh keheranan.

Dengan tenang, wali kelas memberikan penjelasan. Ia mengatakan bahwa masa remaja, khususnya saat anak memasuki usia pubertas, adalah masa transisi penting yang dipenuhi dengan dinamika emosi, pencarian jati diri, dan tantangan internal. “Perubahan sikap dan perilaku itu wajar terjadi dalam proses pembentukan karakter. Namun tentu saja, kita harus terus membimbing dan mengarahkan agar mereka tetap berada di jalur yang benar,” jelasnya.

Penjelasan tersebut tampaknya dapat diterima oleh kedua orang tua. Mereka mengangguk-angguk, seolah mulai memahami bahwa proses pendidikan bukan hanya soal hasil instan, tetapi perjalanan panjang yang penuh liku.

Selama sekitar lima belas menit, sesi konsultasi berlangsung hangat. Mereka bertanya banyak hal, mulai dari perkembangan akademik, pergaulan, ibadah harian, hingga kondisi psikologis anak mereka. Meskipun masih ada rasa kecewa karena belum melihat perubahan sesuai ekspektasi, mereka pulang dengan pemahaman baru dan harapan bahwa dengan kerja sama antara orang tua dan pihak pondok, proses pembinaan karakter Faiz akan terus mengalami perbaikan.

Suasana pagi itu ditutup dengan jabat tangan hangat dan senyum saling percaya. Sebuah momen sederhana yang mencerminkan betapa pentingnya komunikasi antara rumah dan pesantren dalam mendidik generasi berakhlak mulia.

Categories: Artikel Guru

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *