Nama   : Naqya Nidaulhaq Latif

Kelas   : IX E (TP 2024-2025)

Lebak Bulus 9 Maret 1997

Kantor kepolisian kelurahan ramai dipadati oleh penduduk. Dari kejauhan samar-samar terdengar berbagai bentuk maki-makian tertuju pada seseorang yang menjadi pusat kericuhan. Kantor itu mungkin lebih cocok disebut balai, tak terlalu besar, bentuk bangunannya pun tak begitu mewah, namun beberapa pekan ini menjadi tempat ‘favorit’ warga setempat sebab banyaknya keluhan yang diajukan.

Seorang wanita terlihat tergesa-gesa menerobos masuk kerumah warga yang memadati ruangan tersebut. Orang-orang di sekitarnya mengaduh pelan, namun wanita berkurudung itu tak menghiraukan. Bak pertunjukan matador, sang wanita terus merangsek maju seolah tak menganggap ada banyaknya insan dihadapannya.

“Bu,mohon pelan-pelan!” salah seorang petugas setempat menegur,sedang sang wanita tetap lolos memasuki ruangan sempit tak berpintu.

Dua pekan lalu, ia dikejutkan dengan berita pencurian serta penganiyaan sebuah keluarga di komplek rumahnya. Berita itu cepat beredar, ia sempat ketakutan mendengar kabar tersebut. Segala macam protokol keamanan ia gencarkan. Mewanti-wanti orang-orang terdekatnya agar berhati-hati,semua pintu ia kunci lebih rapat pada malam hari, semua harta ia masukkan ke dalam rumah. Mulai dari motor, emas,sertifikat rumah, dan lain-lain — karena tahu ia bukan orang yang kaya deri.

Namun baru-baru ini muncul sebetik kabar bahwa warga telah menemukan pelakunya. Ia bersyukur, setidaknya saat ini ia tidak perlu was-was lagi seperti beberapa minggu yang telah dilewati. Sang wanita hanya takut akan kehilangan. Terlebih pada anak satu-satunya yang telah menjadi penguat hatinya untuk tetap tegar menjalani hidup.

Pikirnya demikian, sampai akhirnya ia tahu bahwa pelakunya adalah orang yang selama ini ada disisinya.

Putra semata wayangnya.

Wajah yang terlalu lelah mengeluarkan tangis dan keringat itu tertunduk lemas, Ketika melihat wajah yang penuh lebam biru dan badan bertelanjang dada itu benar-benar anaknya.pandangannya lemas, badannya begitu memprihatinkan sebab memperlihatkan hasil amukan warga. Sudah serusak ini, ibu mana yang tak hancur?

Sang ibu berteriak dalam hancurnya batin,ia benar-benar anakku!

Benar-benar anak yang dikandungnya. Benar-benar anak yang membuat ia takut menangis Bahagia saat bayi niru mengeluarkan tangis pertamanya. Benar-benar sandaran bagi hatinya saat ia kehilangan cinta pertamanya. Benar-benar seseorang yang ia nomor satukan melebihi dirinya.

Sempat terukir setitik harapan bahwa yang dikatakan orang-orang tentang putranya tidaklah benar. Bisa saja mereka salah menganggap orang itu ialah seseorang yang mirip dengan anaknya. Ia percaya sang anak tidsk mungkin melakukannya. Selama ini, sang ibu sudah berusaha sekuat mungkin menjaga fitrah dirinya.

Tapi apa boleh dikata bila nasi sudah menjadi bubur. Yang ia hadapi sekarang ialah sebuah kenyataan pahit yang mendalam.

“Anakmu sudah membuat seorang wanita menjadi janda dan anak-anaknya menjadi yatim di usia belia!” Seorang ibu berusia kisaraan kepala empat berteriak memecah keheningan. Di balik sorak sorai seluruh warga. Seperti gunung berapi yang siap memuntahkan abu beserta laharnya, raut wajah lelah itu menguap habis dibakar kecewa pada ulu hatinya.

Tanpa ragu sang ibu mengayunkan tangan yang diangkat.

Efek tamparan itu menjalar hangat di seluruh rahang kirinya. Tatapan kecewa, marah dan sedih yang bercampur itu menjadi satu menguasai akal dan pikiran wanita, yang tak lain dan tak bukan adalah sang ibunda.

Bukan hanya pipi sang pemuda, wanita itupun merasakan panas nya derai air mata kecewa dan gemuruh dada yang merasakan pahitnya alam dunia. Sang ibunda tertunduk. Hasrat ingin menyalahkan dirinya sendiri ternyata lebih besar daripada hasrat untuk menyalahkan sang anak. Memanglah demikian naluri seorang ibu.

Ibu itu kembali menangis, menyesal atas perbuatannya. Selama apapun tangan-tangan yang tertangkup di wajahnya itu takan mampu menyanggah seluruh kesedihanmu, bu.

“Bunda”

Jeritan tangis itu semakin kencang di dengarnya, seakan menolak semua realita menyakitkan dari seorang ibu yang bisa merasakan.

Petugas kepolisian setempat membantu menenangkan juga beberpa warga. Namun hati terlampau hancur dan kenyataan terlampau pedih. Segala bentuk penenangan ditolaknya mentah-mentah karena tahu kehidupan selanjutnya akan tetap dirundung kesedihan.

Air mata hancur itu seolah tak ingin berhenti mengeluarkan segala harapan yang tak kunjung berbuah ranum. Padahal, yang di punyanya saat ini hanyalah seorang (yang sekarang tak dianggap) putra yang telah melindas segala bentuk pengorbannya.

Besar keinginan hati sang ibu untuk memarahi anak semata wayangnya seperti dulu-dulu seringkali ia lakukan .Namun saat ini situasinya berbeda. Dirinya sudah tak sanggup. Tubuhnya kian melemah,sama seperti rasa sayangnya yang kian berkurang.

Ingin sekali sang ibu memutar waktu,mengevaluasi dirinya sendiri bahwa pernahkah satu kata pun ia lontarkan untuk mengajarkan anaknya menjadi pembunuh? Seorang ibu waras manakah yang berharap putranya demikian ?

“Bunda, aku benar-benar menyesal” wajah itu tertunduk dalam—masih menatap sang ibu di hadapannya yang sedang berjongkok,meraung-raung kesedihan.

Ibu itu akhirnya bangun, memberanikan diri menghadap putranya yang telah menjadi pembunuh, pun pembunuh bagi jiwa dan kepercayaannya.

“Maafka bunda nak,” lirih sang ibu yang semakin menanamkan rasa bersalah, berusaha bangkit dari perasaan tersedu-sedunya.”Sepanjang enam belas tahun Bunda mendidikmu, tak satu kalipun bunda sadari. Tak sekali pun bunda memikirkan perasaanmu” Air mata kembali berjatuhan sejalan dengan runtuhnya masa depan.

Terlihat ekspresi takut dari raut wajah putranya yang seolah berkata,”Marahi saja aku sepuasmu, Bun” walau tak akan menebus rasa kecewa sedikit pun.

“Maaf bunda selalu mamaksakan kehendak, maaf bunda tidak pernah mengerti dirimu” Permohonan maaf itu dibarengi penyesalan mendalam bagi sang ibu,tak terkecuali sang anak.

“Maaf pula tak bisa menghadirkan ayah yang baik,”

Warga-warga menatap iba. Sebegitu pilunya hati seorang wanita kehilangan 2 lelaki yang dicintainya.

Sang ibu hanya takut ditinggal lagi,maka ia menutup hati.

Betul, sangat betul ia egois. Padahal ada seorang putra yang membutuhkan sosok ayah sebagai pengendali tindakan, namun ia tetap berusaha tegar walau hatinya kesepian.

Sudah cukup dikecewakan, semoga ia segera ikhlas.

“Biarlah engkau dihukum sebagaimana mestinya.” Langkahnya berjalan gontai meninggalkan rasa sakit. Suatu saat, sang ibu ingin menjadi baru, menata hidup sendiri. Ia sudah cukup dikhianati. Dan kini, dirinya pun tak percaya siapapun lagi.

Ibu ingin kembali.

Rumah Ibu, 18 Mei 2015

Anak itu tidak dipedulikan lagi, dan hal pertama yang ia lakukan adalah mengunjungi pusara ibu nya. Juga bakti terakhir yang bisa ia kerjakan adalah membersihkan rumah sang ibunda. Makam tak berkeramik itu lusuh sekali setelah 6 tahun tak di singgahi. Di hari kematian ibunya, kesepian tetaplah teman terbaiknya.

Pemuda itu meratapi miris nasib mendiang sang ibunda. Bahkan di hari penjemputannya, almarhumah ibunya masih terbebani biaya lahan kuburan. Bagaimanalah narapidana sepertinya dapat membayar? Sedang harta sang ibu habis dipakai untuk pengobatan penyakit kronisnya.

Bertahun-tahun di jeruji besi sang ibu tak pernah menjenguknya. Sang anak memaklumi karena ibunya pastilah kecewa. Berharap di hari ia bebas, mimpinya untuk bersimpuh di hadapan ibu bisa terwujudkan. Namun kini, yang tersisa hanyalah papan bertuliskan nama sang ibunda.

Ia sudah tak menangis,sudah banyak penyesalan yang dibendungnya.

“Ini” ucap pelan seorang wanita tua yang ia tak tahu siapa. Kakinya berjalan meninggalkan surat dengan kertas lecek di berbagai sisinya tanpa mengucap sepatah kata pun. Sang anak membolak-balikkan kertas tersebut. Nihil. Tak ada kejelasan dari siapa pengirim surat misterius ini. Dan wanita tua itu, mungkinkah ia penjual bunga? Apa motif dirinya melakukan semua ini?

Di bukalah sebuah surat tak bersegel itu,dan…Ajaib! Itu tulis tangan sang bunda.

Jakarta, 8 Februari 2007

Untuk Putra pertamaku, Mohamad Bachri Royhan

Anakku, jika suatu saat kamu menemukan surat ini, seharusnya kau tidak perlu bersedih, karena akhirnya bunda telah memaafkanmu. Sejauh apapun kamu berlari, selama hayatmu masih bernafas, ketahuilah bahwa bunda selalu menemanimu. Bunda memaafkanmu,karena engkau anankku.

Namamu Mohamad, karena semenjak bayi itu lahir, diharapkan semoga kelak engkau mempunyai perangai sebagaimana mulianya Nabi Muhammad SAW. Bachrie. Royhan, semoga engkau seperti Sungai yang airnya mengalir, tahan dan tetap melanjutkan berjalan walau batu terus-menerus menghadang. Hingga sampai di muara laut, engkau akan menjadi orang yang besar. Royhan, semoga aura positifmu tetap tercium wangimya.

Meski butuh waktu lama, tidak apa. Tetaplah berproses setiap harinya. Karena dalam masa tahananmu, bunda pun berproses.

Akhirnya Bunda mengerti dirimu, Bachrie. Bunda sadar, bukan bunda tidak benar mendidik. Hal-hal menyimpang yang kau lakukan dahulu adalah perwujudan kepercayaan yang engkau berikan. Bagaimana kau bertindak tanpa berpikir panjang sebab tahu Bunda akan selalu peringatkan. Namun Bunda tak perlu khawatir karena Bunda telah mempersiapkan dengan belajar menanamkan rasa menyesal dihatimu.

Meski setiap janji yang engkau ucapkan berulang kali tak akan berubah nyata, seetidaknya Bunda tahu bahwa ketulusan pada hatimu tetap menempati posisinya. Ternyata setelah sekian lama Putra Bunda tetap menjadi orang yang dapat menempati posisinya. Ternyata setelah sekian lama Putra Bunda tetap menjadi orang yang dapat di percaya, bahwa Bunda yakin  kau akan kuat tanpa Bunda. Terimakasih telah membuat Bunda selesai menunaikan tugas dari kewajiban yang paling mulia.

Bundamu.

Kini hidupnya tak terasa seperti hidup. Ia rindu amat sangat rindu. Suatu saat Ketika berpulang, 100 tahun mencium kaki ibu pun akan ia sanggupi. Sekarang, ia tak tahu bagaimana mengekspresikan rasa menyesalnya. Andai dulu tak seperti ini, andai dulu tak seperti itu. Seringkali  ia tenggelam dalam perandaiannya. Dalam tangisannya, Bachrie meminta maaf akan segala hal. Aku membutuhkanmu, dalam proses panjang hidupku.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *